TABLOID_PRESSIND, NGAWI I Lagi buta itu, Hari Sabtu Pon, 18/3 kabut tipis masih menyelimuti hamparan pesawahan disekitar warga. Matahari seolah enggan untuk menampakkan diri karena tersapu dengan hawa dingin. Namun begitu warga Pedukuhan Bulak Ombo, Dusun Widodaren Kidul, Desa Widodaren bersemangat menyibak kabut dan hawa dingin tersebut dengan sebuah aktifitas yang tidak biasanya. Yap, sebagian warga petani telah berbondong-bondong menuju sawah ujung dusun dengan membawa bakul dan sejumlah wadah yang berisi makanan.
Rona-rona bahagia disertai langkah semangat kaki-kaki mereka membuat suasana menjadi hangat dan meriah. Yah, para petani di wilayah ini tengah bahagia dan haru, karena sebentar lagi sumber penghidupan mereka bisa dipanen. Optimisme ketahanan pangan akan tetap terjaga.
Dipimpin oleh seorang spiritual, yakni Yahi Daud acara dimulai dengan lantunan munajat keberkahan, karena hasil panen kali ini menampakkan hasil yang dirasa cukup walau harus berbagi dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Tidak mengapa, kehidupan memang harus begitu.
Ya, walaupun belum maksimal setidaknya tuaian hasil dari menggarap bumi pertiwi kali bisa membuat bahagia petani. Sekitar enam sampai tujuh ton gabah per hektar telah mencukupi serta sebentar lagi bisa dipanen, ujar Sadi, 65 tahun, salah satu tetua dan petani merasa marem.
Ia mengaku sebelum ritual Methil atau Mugut dilaksanakan secara bersama-sama, dirinya dan sekitar tiga warga pemilik lahan di Bulak Ombo, tidak pernah meninggalkan kebiasaan itu alias rutin melakukannya. Sebelum acara do’a dan bacaan tahlil, ia dan sejumlah petani lainnya secara bersama-sama di pagi buta telah melaksanakan serangkaian ritual mulai dari ngaturi cok bakal ditulakan atau pangkal aliran air, sebelum kemudian mengambil bulai padi terbaik dengan alat ani-ani, yaitu alat pemotong padi tempo dulu. Setelah itu hasil bulai padi terbaik tersebut disimpan dirumah.
Cok bakal adalah sesaji yang berupa takir yang terbuat dari daun pisang yang diisi bunga setaman, telur, dan kemiri. Setelah itu disajikan pula guwakan, berupa sebagian buceng atau pucuk tumpeng beserta lauk pauknya.
Yahi Daud sebelum membimbing bacaan tahlil mengingatkan kepada masyarakat, berapapun hasil yang diberikan oleh Allah, sang maha pemberi haruslah disyukuri.
“Kita harus pandai bersyukur atas limpahan rejeki berapapun yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu pastilah rejeki akan dilipat-lipatkan,” terang Yahi Daud mengawali sambutannya sebelum acara Do’a Tahlil.
Rasa syukur yang diwujudkan acara sedekahan atau selamatan panggang tumpeng juga disertai acara kirim do’a yang ditujukan kepada ahli waris, utamanya para pendiri desa. Kemudian ia juga menandaskan, bahwa acara seperti ini sangat baik, menunjukkan bahwa masyarakat masih pandai bersyukur dengan dipratelake sedekahan dan kirim do’a yang disebut methil atau mugut.
Tidak kalah bahagiannya, Kepala Desa Widodaren, Woko Supriyanto, yang kebetulan tanah eks-bengkoknya berada dikawasan ini. Ia merasa marem dengan inisiatif warga petani yang kembali nguri-uri tradisi methil kali ini.
“Ini bentuk kepedulian masyarakat dengan tradisi yang saat ini mulai luntur. Kalau dulu dilaksanakan secara sendiri-sendiri, mulai panen musim lalu telah dilakukan serentak. Itupun dilakukan oleh beberapa orang saja. Hal ini juga menjadi cerminan kerukunan masyarakat didesa kita,” terang Kades belia yang masih berusia 31 tahun ini.
Woko berharap tradisi methil ini juga akan dilaksanakan oleh warga petani lain di wilayah seluruh Desa Widodaren. Dengan begitu diharap kemakmuran dan keberkahan akan didapat oleh semua warga desa. Tidak hanya petani namun seluruh warga Widodaren.
“Terinspirasi dari acara methil di Dusun Widodaren Kidul yang terdiri dari tiga pedukuhan, yakni Bulak Ombo, Klithih, Jamanganti, serta Kiyonggo ini, dimasa akan datang akan kita laksanakan bersama-sama meliputi seluruh desa secara serentak. Ya, nanti sekalian menjadi agenda rutin desa saat panen padi, Siapa tahu dengan tradisi ini akan membangkitkan perekonomian warga, misalnya menjadi daya tarik wisata tradisi” jelasnya disela-sela ritual.
Soal cara olah sawah boleh modern, tetapi tradisi ritual methil alias mugut harus tetap diuri-uri agar tradisi tersebut tidak tercabut dari bumi pertiwi. Akar sejarah jangan sampai dilalaikan agar kehidupan tetap menjadi berkah, pungkas Woko Supriyanto saat berikan sambutan memulai acara ritual methil di Dusun Widodaren Kidul.
Wartawan: Katimin A. Rohim