PRESIINDO_MALANG |Di antara janji-janji luhur yang mengiringi setiap pelantikan politik, momen pengukuhan H. Arifin sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Malang untuk periode 2025-2030, Kamis lalu di Kantor Gubernur Jawa Timur, terasa lebih dari sekadar seremoni. Di balik kilau lampu dan pidato, terhampar realitas keras sebuah kota yang lebih dikenal dengan apel dan pendidikan, ketimbang hamparan sawahnya. Arifin kini memikul beban untuk mengukir ketahanan pangan di atas kanvas yang sempit, sebuah perjuangan yang menuntut lebih dari sekadar tekad.
Arifin, dengan tenang namun penuh perhitungan, tak sedikit pun mengabaikan jurang tantangan di depannya. Langkah pertamanya, ia menegaskan, adalah konsolidasi organisasi hingga ke akar rumput—sebuah misi yang tak mudah di kota yang padat. “Kita akan membentuk struktur yang lebih lengkap di tingkat kecamatan bahkan sampai tingkat kelurahan,” ujarnya, mengakui bahwa fondasi yang kuat adalah mutlak, bahkan di lahan yang terbatas. Program kerja HKTI Kota Malang, yang akan diselaraskan dengan arahan pusat, juga harus berpijak pada bumi yang realistis. Ia paham, di tengah himpitan urbanisasi, setiap inisiatif harus mampu diterjemahkan menjadi tindakan nyata. Dukungan terhadap program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, ia lihat sebagai peluang, meski pasokan kebutuhan dasar di perkotaan seringkali terjebak dalam pusaran persaingan pasar yang brutal.
Keterbatasan lahan di Kota Malang adalah takdir yang harus dihadapi Arifin dan para petaninya. Sekretaris DPC HKTI Kota Malang, Trio Agus Purwono, mengamini strategi adaptif: fokus pada pasca-panen, agribisnis, dan penguatan ketahanan pangan melalui inovasi seperti urban farming dan greenhouse. Ini adalah peperangan senyap, memaksimalkan setiap jengkal tanah yang tersisa. Kolaborasi dengan Pemerintah Kota dan lembaga pendidikan tinggi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mutlak. “Bersama seluruh stakeholder Kota Malang, kita akan mendalami apa yang bisa disinergikan,” tutur Trio, menggambarkan semangat perjuangan kolektif. Bahkan, rencana untuk bergandengan tangan dengan Koperasi Merah Putih menjadi penanda bahwa Arifin tak akan membiarkan kesempatan sekecil apa pun lolos untuk menguatkan posisi petani.
Namun, tantangan terbesar mungkin bukan pada tanah yang sempit, melainkan pada pikiran yang tertutup. Arifin mengemban misi berat untuk merangkul generasi muda agar melihat pertanian bukan sebagai masa lalu, melainkan masa depan. Di era di mana algoritma dan layar mendominasi, mengubah pandangan tentang lumpur dan benih adalah sebuah revolusi kultural. Sinergi dengan para pakar pertanian menjadi pilar harapan untuk menciptakan solusi inovatif, melawan stigma, dan membuktikan bahwa pertanian di kota sekalipun, dapat menjadi sektor yang dinamis dan berdaya.
Bersamaan dengan langkah Arifin, dari bilik-bilik dapur rakyat yang mengepulkan asap, Kurniadi Ikhwan, penggagas Paguyuban Kodrat (Komando Dapur Rakyat), menyambut gagasan Ketua HKTI Kota Malang itu dengan perspektif seorang pragmatis. Tanpa basa-basi berlebihan, ia melihat inisiatif Arifin mengenai rantai pasok kebutuhan MBG bukan sebagai pujian kosong, melainkan sebuah kebutuhan mendesak.
“Kami menyambut baik ide dan gagasan saudara Arifin terkait perhatiannya akan supply chain kebutuhan dapur MBG,” tegas Kurniadi, suaranya sarat dengan pengalaman di garis depan penyediaan pangan. Baginya, stabilitas pasokan di tengah fluktuasi harga adalah kunci, dan HKTI bisa menjadi penentu. “Kerja sama HKTI Kota Malang dengan dapur SPPG adalah sebuah kebutuhan dan ide cemerlang,” ia melanjutkan, menggarisbawahi urgensi praktis dari kolaborasi ini. Sebuah pengakuan pahit manis bahwa di tengah birokrasi, solusi nyata seringkali lahir dari kemitraan yang mendesak.
Kurniadi Ikhwan tak berhenti pada lingkup Kota Malang. Ia melihat cetak biru ini sebagai model nasional. “Kami berharap [kerjasama ini] ditiru oleh DPC HKTI lainnya,” ujarnya, seolah menantang HKTI di daerah lain untuk mengikuti jejak pragmatis ini. Ini adalah seruan untuk efisiensi, untuk efektivitas, dan untuk sebuah perjuangan yang lebih besar: memastikan bahwa setiap piring berisi gizi, terlepas dari segala keterbatasan.
Di bawah kepemimpinan Arifin, HKTI Kota Malang kini berdiri di persimpangan jalan, sebuah organisasi yang harus berjuang lebih keras dari yang lain untuk membuktikan relevansinya di sebuah kota urban. Semua mata kini tertuju pada Arifin—akankah ia mampu membuktikan bahwa di tengah keterbatasan dan stigma, pertanian tetap dapat menjadi denyut nadi kehidupan, menjaga perut-perut lapar, dan membuktikan bahwa ketahanan pangan bukan hanya milik lumbung padi yang luas, melainkan juga kecerdikan di ruang yang sempit.
Wartawan: Abdul Ghofar Editor: A Febri TH